Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Dalam suatu kesempatan Rasulullah saw menyampaikan di hadapan
sahabat-sahabatnya, “Tidak ada hari-hari yang paling dicintai oleh Allah
untuk beramal shaleh kecuali sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah
ini.” Salah seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, tidak dengan
jihad di jalan Allah?” Nabi menjawab, “Tidak pula dengan jihad di jalan
Allah, kecuali orang yang berjuang dengan jiwa dan hartanya, meski semua
itu tidak akan kembali.” (HR Bukhari, Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu
Majah)
Rasulullah saw juga menyampaikan, “Tidak ada hari dimana
Allah paling banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka selain hari Arafah
(tgl 9 bln Dzulhijjah). Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla mendekat kepada mereka
yang hadir di Arafah pada hari itu, kemudian membanggakan mereka kepada
para malaikat-Nya sembari berkata, ‘Apa yang diinginkan oleh hamba-Ku
akan aku perkenankan.’” (HR Muslim)
Dalam Kesempatan lain,
Rasulullah saw menyampaikan, “Puasa pada hari arafah (bagi siapa yang
tidak hadir di Arafah) yang diniatkan untuk mendapatkan keridhaan Allah
akan menghapus dosa satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan
datang.” (HR Muslim)
Nabi melarang puasa arafah bagi orang yang hadir di arafah pada hari itu (HR Bukhari, Abu Daud dan Ibnu Majah)
Wassalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Yayasan Ponpes Nurul Jannah Cikarang
Pusat Pelayanan Terapi Dan Rehabilitasi Narkoba Dan HIV/AIDS Melalui Metode Agama
Selasa, 08 September 2015
Senin, 03 Agustus 2015
BAHAYA NARKOBA MENGANCAM UMAT
Assalamu’allaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menghalalkan segala yang baik bagi hamba-hambanya. Serta mengharamkan segala yang buruk.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah mensyariatkan agama untuk memelihara hamba-hambanya dari segala perkara yang mendatangkan kemudharatan bagi umat manusia, akal dan lingkungan tempat tinggal.
Menjaga mereka dari kesengsaraan dan kebinasaan di dunia fana, serta dari kerugian dan penyesalan di akhirat kelak. Dia-lah Allah SWT telah membuka pintu taubat bagi hamba-hamba yang melanggar batas Illahi. Agar mereka dapat meraih kembali ketenangan jiwa dan memulai hidup istiqomah di atas jalan yang lurus.
Shalawat dan salam kita panjatkan kepada Rasulullah SAW yang diutus sebagai rahmat bagi seantero alam dan sebagai hujjah atas sekalian manusia.
Tidak diragukan lagi bahwa seluruh jenis narkoba termasuk kategori barang haram yang dapat menggiring pemakainya melakukan tindak kriminal. Ia tergolong sumber segala kejahatan dan menimbulkan berbagai kerusakan. Hampir dapat dipastikan bila barang haram ini menyebar ditengah-tengah masyarakat, akan menenggelamkan mereka ke dalam kebejatan syahwat dan kebiadaban moral. Yang akan disusul dengan munculnya berbagai bencana seperti : wabah-wabah menular dan virus-virus mematikan seperti HIV / AIDS.
Jelas sekali, bahwa fenomena pemakaian narkoba merupakan bahaya yang mengancam seantero penduduk planet bumi. Tidak hanya mengancam satu Negara atau satu daerah saja. bencana yang ditimbulkan dapat menimpa setiap pribadi dan dapat melanda tiap-tiap negeri.
Pada saat ini, hampir setiap masyarakat di Indonesia menghadapi masalah yang sama, yaitu meluasnya penyebaran narkoba. Sehingga situasi keamanan dalam negeri kadang kala tergoncang, keselamatan generasi muda kita terancam, bahkan secara langsung telah menyebabkan terjadinya berbagai kasus kriminal.
Waspadalah! Narkoba telah menjadi ranjau-ranjau maut yang mengancam masa depan. Yang telah merobohkan pilar-pilar kehidupan dan menebar kerusakan serta penyimpangan-penyimpangan perilaku. Ingatlah! maut dan kebinasaan siap menyergap melalui pil-pil setan dan jarum-jarum Neraka itu, racun yang mematikan dalam beribu bentuk dan rasa.
Satu sisi yang mesti diperhatikan dalam penanggulangan masalah Narkoba ini adalah bimbingan dan nasehat agama yang kontinyu. Jauhnya para pemuda-pemudi dari bimbingan agama adalah salah satu factor penyebab terjerumusnya mereka dalam pergaulan bebas yang berlanjut dengan penyalah gunaan obat terlarang, mabuk-mabukan, tawuran masal dan bahkan bisa berlanjut dengan tindakan kriminal.
Pembinaan dari lingkungan yang terkecil dan terdekat yaitu keluarga sangat berarti dalam membentuk pribadi seorang anak. Disamping peran serta lingkungan setempat dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada.
Seorang Bapak dan Ibu wajib memasukkan sentuhan-sentuhan rohani dan imani kepada anak-anaknya. Jangan membiarkan anak menjadi korban, kemudian setelah itu baru mencari jalan penyembuhannya.
Bagaimanapun tindakan preventif lebih baik dari pada pengobatan.
Pengetahuan tentang seluk beluk Narkoba juga harus diberikan secara bertahap sesuai dengan perkembangan anak, sehingga mereka dapat mengetahui bahaya penyalah gunaannya.
Melihat fenomena yang sangat berbahaya ini dan TERAMAT NEGATIF serta dapat menghancurkan seluruh sisi kehidupan, saya berhasrat untuk menebar bias-bias informasi masalah ini. Sebagai salah satu peran serta kami dalam menunaikan KEWAJIBAN BESAR yang merupakan bagian dari amanah dan ajaran agama. Dan sebagai nasihat bagi saudara-saudara kami kaum muslimin.
Seorang yang bijaksana adalah yang dapat mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain. Adapun orang yang merugi adalah yang selalu menuruti hawa nafsu dan ia menjadi pelajaran bagi orang lain.
Akhirul kalam, kami berharap semoga penyampaian yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin di Indonesia, khususnya para generasi muda.
Hanya kepada Allah SWT sajalah saya memohon taufik dan keistiqomahan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
H. Adang Miarsa
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menghalalkan segala yang baik bagi hamba-hambanya. Serta mengharamkan segala yang buruk.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah mensyariatkan agama untuk memelihara hamba-hambanya dari segala perkara yang mendatangkan kemudharatan bagi umat manusia, akal dan lingkungan tempat tinggal.
Menjaga mereka dari kesengsaraan dan kebinasaan di dunia fana, serta dari kerugian dan penyesalan di akhirat kelak. Dia-lah Allah SWT telah membuka pintu taubat bagi hamba-hamba yang melanggar batas Illahi. Agar mereka dapat meraih kembali ketenangan jiwa dan memulai hidup istiqomah di atas jalan yang lurus.
Shalawat dan salam kita panjatkan kepada Rasulullah SAW yang diutus sebagai rahmat bagi seantero alam dan sebagai hujjah atas sekalian manusia.
Tidak diragukan lagi bahwa seluruh jenis narkoba termasuk kategori barang haram yang dapat menggiring pemakainya melakukan tindak kriminal. Ia tergolong sumber segala kejahatan dan menimbulkan berbagai kerusakan. Hampir dapat dipastikan bila barang haram ini menyebar ditengah-tengah masyarakat, akan menenggelamkan mereka ke dalam kebejatan syahwat dan kebiadaban moral. Yang akan disusul dengan munculnya berbagai bencana seperti : wabah-wabah menular dan virus-virus mematikan seperti HIV / AIDS.
Jelas sekali, bahwa fenomena pemakaian narkoba merupakan bahaya yang mengancam seantero penduduk planet bumi. Tidak hanya mengancam satu Negara atau satu daerah saja. bencana yang ditimbulkan dapat menimpa setiap pribadi dan dapat melanda tiap-tiap negeri.
Pada saat ini, hampir setiap masyarakat di Indonesia menghadapi masalah yang sama, yaitu meluasnya penyebaran narkoba. Sehingga situasi keamanan dalam negeri kadang kala tergoncang, keselamatan generasi muda kita terancam, bahkan secara langsung telah menyebabkan terjadinya berbagai kasus kriminal.
Waspadalah! Narkoba telah menjadi ranjau-ranjau maut yang mengancam masa depan. Yang telah merobohkan pilar-pilar kehidupan dan menebar kerusakan serta penyimpangan-penyimpangan perilaku. Ingatlah! maut dan kebinasaan siap menyergap melalui pil-pil setan dan jarum-jarum Neraka itu, racun yang mematikan dalam beribu bentuk dan rasa.
Satu sisi yang mesti diperhatikan dalam penanggulangan masalah Narkoba ini adalah bimbingan dan nasehat agama yang kontinyu. Jauhnya para pemuda-pemudi dari bimbingan agama adalah salah satu factor penyebab terjerumusnya mereka dalam pergaulan bebas yang berlanjut dengan penyalah gunaan obat terlarang, mabuk-mabukan, tawuran masal dan bahkan bisa berlanjut dengan tindakan kriminal.
Pembinaan dari lingkungan yang terkecil dan terdekat yaitu keluarga sangat berarti dalam membentuk pribadi seorang anak. Disamping peran serta lingkungan setempat dan lembaga-lembaga pendidikan yang ada.
Seorang Bapak dan Ibu wajib memasukkan sentuhan-sentuhan rohani dan imani kepada anak-anaknya. Jangan membiarkan anak menjadi korban, kemudian setelah itu baru mencari jalan penyembuhannya.
Bagaimanapun tindakan preventif lebih baik dari pada pengobatan.
Pengetahuan tentang seluk beluk Narkoba juga harus diberikan secara bertahap sesuai dengan perkembangan anak, sehingga mereka dapat mengetahui bahaya penyalah gunaannya.
Melihat fenomena yang sangat berbahaya ini dan TERAMAT NEGATIF serta dapat menghancurkan seluruh sisi kehidupan, saya berhasrat untuk menebar bias-bias informasi masalah ini. Sebagai salah satu peran serta kami dalam menunaikan KEWAJIBAN BESAR yang merupakan bagian dari amanah dan ajaran agama. Dan sebagai nasihat bagi saudara-saudara kami kaum muslimin.
Seorang yang bijaksana adalah yang dapat mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain. Adapun orang yang merugi adalah yang selalu menuruti hawa nafsu dan ia menjadi pelajaran bagi orang lain.
Akhirul kalam, kami berharap semoga penyampaian yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin di Indonesia, khususnya para generasi muda.
Hanya kepada Allah SWT sajalah saya memohon taufik dan keistiqomahan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.
H. Adang Miarsa
Minggu, 02 Agustus 2015
Ujian
“Dan sungguh akan Kami berikan ujian kepadamu dengan sedikit
kegelisahan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan
berilah khabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS Al Baqarah
[2]:155)
Seorang teman bertanya, “Allah telah menetapkan ujian kelaparan kepada manusia, kenapa harus ada ujian kekurangan buah-buahan?”
Hamba itu berusaha untuk menjelaskan sebuah ayat yang begitu agung mengenai ‘ujian’ bagi seorang hamba Allah di muka bumi ini. Sebuah ayat yang begitu gamblang dan sangat rinci.
Jika kita melihat ayat Allah diatas dengan seksama, ujian itu ada lima.
Yang pertama adalah kegelisahan (ketakutan). Kegelisahan selalu identik dengan sebuah peristiwa yang belum menghampiri kita. Sebuah peristiwa yang ada di depan yang selalu kita harap-harap cemas dalam menunggu kedatangannya atau menantikan seperti apa wujud kejadiannya. Sesuatu yang sebenarnya diluar nalar dan pemahaman kita karena belum terjadi.
Yang kedua adalah kelaparan. Dalam hal ini kekurangan bahan makanan yang menjadi penyebabnya. Bisa jadi kita mampu mengadakannya dengan harta yang kita miliki tapi bahan makanan itu tidak tersedia.
Yang ketiga adalah kekurangan harta. Dalam hal ini tidak tercukupinya kebutuhan hidup sehari-hari karena kita tidak memiliki penghasilan ataupun.
Yang keempat adalah kekurangan/kehilangan jiwa. Bisa jadi penyakit yang kita derita ataupun kehilangan orang yang kita sayangi.
Yang kelima adalah kekurangan buah-buahan. Buah-buahan disini dapat berarti sebuah tanaman yang kita semai bibitnya, kita tanam, kita pelihara setiap hari dengan menyiramnya dan memberinya pupuk. Tapi tanaman itu tidak berbuah seperti apa yang kita harapkan ataupun tidak berbuah sama sekali. Sebuah perumpamaan bagi sebuah cita-cita yang selama ini kita usahakan untuk mencapainya tapi pada akhirnya cita-cita itu harus pupus. Demikian juga anak-anak yang kita didik dan besarkan dengan susah payah. Berharap suatu saat kelak mereka menjadi seperti apa yang kita harapkan ternyata hal itu tidak menjadi kenyataan.
Allah memilih kata-kata 'Kami' dan bukan 'Aku' dalam ayat-Nya yang agung diatas karena Allah ingin memberi informasi kepada hamba-hamba-Nya, adanya keterlibatan makhluk-makhluk-Nya dalam setiap ujian yang Dia tetapkan dan bukanlah semua itu murni hasil kekuasaan-Nya. Dalam hidup ini kita banyak berhubungan dengan manusia lain. Bukankah kegelisahan, kesedihan, kekurangan harta dapat disebabkan orang-orang disekitar kita juga? Demikian juga peran malaikat tidak dapat diabaikan dalam sebuah ujian Allah. Karena para malaikatlah yang berperan dalam menghijaukan ataupun mengeringkan bumi ini dengan air hujan yang turun. Demikian juga segala bencana yang datang menghampiri adalah perintah Allah kepada para malaikat-Nya.
Begitu Maha Adil dan Maha Halus Allah ‘Azza wa Jalla. Walaupun ia Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, ketika sebuah peristiwa yang terjadi melibatkan para makhluk-Nya ia memilih kata ‘Kami’ daripada ‘Aku’.
Demikian juga dengan kata ‘sedikit’ pada ayat diatas. Kita harus menyadari bahwa setiap ujian yang Allah berikan itu hanya sedikit dan kita sangat mungkin untuk menyelesaikannya. Kemampuan yang kita miliki untuk menyelesaikannya jauh melampaui apa yang diujikan kepada kita.
Wallahu 'Alam Bissawab
Seorang teman bertanya, “Allah telah menetapkan ujian kelaparan kepada manusia, kenapa harus ada ujian kekurangan buah-buahan?”
Hamba itu berusaha untuk menjelaskan sebuah ayat yang begitu agung mengenai ‘ujian’ bagi seorang hamba Allah di muka bumi ini. Sebuah ayat yang begitu gamblang dan sangat rinci.
Jika kita melihat ayat Allah diatas dengan seksama, ujian itu ada lima.
Yang pertama adalah kegelisahan (ketakutan). Kegelisahan selalu identik dengan sebuah peristiwa yang belum menghampiri kita. Sebuah peristiwa yang ada di depan yang selalu kita harap-harap cemas dalam menunggu kedatangannya atau menantikan seperti apa wujud kejadiannya. Sesuatu yang sebenarnya diluar nalar dan pemahaman kita karena belum terjadi.
Yang kedua adalah kelaparan. Dalam hal ini kekurangan bahan makanan yang menjadi penyebabnya. Bisa jadi kita mampu mengadakannya dengan harta yang kita miliki tapi bahan makanan itu tidak tersedia.
Yang ketiga adalah kekurangan harta. Dalam hal ini tidak tercukupinya kebutuhan hidup sehari-hari karena kita tidak memiliki penghasilan ataupun.
Yang keempat adalah kekurangan/kehilangan jiwa. Bisa jadi penyakit yang kita derita ataupun kehilangan orang yang kita sayangi.
Yang kelima adalah kekurangan buah-buahan. Buah-buahan disini dapat berarti sebuah tanaman yang kita semai bibitnya, kita tanam, kita pelihara setiap hari dengan menyiramnya dan memberinya pupuk. Tapi tanaman itu tidak berbuah seperti apa yang kita harapkan ataupun tidak berbuah sama sekali. Sebuah perumpamaan bagi sebuah cita-cita yang selama ini kita usahakan untuk mencapainya tapi pada akhirnya cita-cita itu harus pupus. Demikian juga anak-anak yang kita didik dan besarkan dengan susah payah. Berharap suatu saat kelak mereka menjadi seperti apa yang kita harapkan ternyata hal itu tidak menjadi kenyataan.
Allah memilih kata-kata 'Kami' dan bukan 'Aku' dalam ayat-Nya yang agung diatas karena Allah ingin memberi informasi kepada hamba-hamba-Nya, adanya keterlibatan makhluk-makhluk-Nya dalam setiap ujian yang Dia tetapkan dan bukanlah semua itu murni hasil kekuasaan-Nya. Dalam hidup ini kita banyak berhubungan dengan manusia lain. Bukankah kegelisahan, kesedihan, kekurangan harta dapat disebabkan orang-orang disekitar kita juga? Demikian juga peran malaikat tidak dapat diabaikan dalam sebuah ujian Allah. Karena para malaikatlah yang berperan dalam menghijaukan ataupun mengeringkan bumi ini dengan air hujan yang turun. Demikian juga segala bencana yang datang menghampiri adalah perintah Allah kepada para malaikat-Nya.
Begitu Maha Adil dan Maha Halus Allah ‘Azza wa Jalla. Walaupun ia Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, ketika sebuah peristiwa yang terjadi melibatkan para makhluk-Nya ia memilih kata ‘Kami’ daripada ‘Aku’.
Demikian juga dengan kata ‘sedikit’ pada ayat diatas. Kita harus menyadari bahwa setiap ujian yang Allah berikan itu hanya sedikit dan kita sangat mungkin untuk menyelesaikannya. Kemampuan yang kita miliki untuk menyelesaikannya jauh melampaui apa yang diujikan kepada kita.
Wallahu 'Alam Bissawab
Allah Maha Kuasa
Suatu saat, seorang ahli hikmah, Ibrahim bin Adham didatangi oleh orang
yang mengaku ahli maksiat. Ia mengutarakan niatnya untuk keluar dari
kubangan dunia hitam.
Ibrahim bin Adham memberikan nasihatnya, seraya berkata, "Jika ingin menerima lima syarat dan mampu melaksanakannya, maka tak mengapa kamu meneruskan kesukaanmu berbuat maksiat."
Mendengar perkataan Ibrahim, ahli maksiat dengan penasaran bertanya, "Ya Abu Ishaq (panggilan Ibrahim bin Adham), apa syarat-syaratnya?"
Ibrahim bin Adham berkata, "Pertama, jika ingin melakukan maksiat kepada Allah, janganlah kamu memakan rizki-Nya."
"Lalu aku harus makan dari mana? Bukankah semua yang ada di bumi ini rizki Allah?" kata sang ahli maksiat keheranan.
Ibrahim bin Adham berkata lagi, "Ya, kalau sudah menyadarinya, masih pantaskah kamu memakan rizki-Nya, sedangkan kamu melanggar perintah-perintah-Nya."
"Kemudian syarat yang kedua, kalau ingin bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah kamu tinggal di bumi-Nya. "
Ya Abu Ishaq, kalau demikian, aku akan tinggal di mana? Bukankah semua bumi dan isinya ini kepunyaan Allah?" kata lelaki itu.
"Ya Abdullah, renungkanlah olehmu, apakah masih pantas memakan rizki-Nya, sedangkan kamu masih hendak melanggar perintah-Nya?" kata Ibrahim.
"Ya benar, " kata lelaki itu tertunduk malu.
Ibrahim bin Adham kembali berkata, "Syarat ketiga, kalau ingin juga bermaksiat, mau makan rizki-Nya, mau tinggal di bumi-Nya, maka carilah suatu tempat yang tersembunyi dan tidak dapat dilihat-Nya."
"Ya Abu Ishaq, mana mungkin Allah tidak melihat kita?" ujarnya.
Sang ahli maksiat itu pun terdiam merenungkan petuah-petuah Ibrahim. Lalu ia kembali bertanya, "Ya Abu Ishaq, kini apa lagi syarat yang ke empat?"
"Kalau malaikat maut datang hendak mencabut ruhmu, katakanlah, "Undurkanlah kematianku. Aku ingin bertaubat dan melakukan amal sholeh." kata Ibrahim.
"Ya Abu Ishaq, mana mungkin malaikat maut mau mengabulkan permintaanku itu." jawab lelaki itu.
"Baiklah ya Abu Ishaq, sekarang sebutkan apa syarat yang ke lima?" tanyanya lagi.
"Kalau malaikat Zabaniyah hendak membawamu ke neraka di hari kiamat, janganlah engkau mau ikut bersamanya."
"Ya Abu Ishaq, jelas saja mereka (malaikat Zabaniyah) tidak akan mungkin membiarkan aku menolak kehendak-Nya." ujar lelaki itu.
"Kalau demikian, jalan apa lagi yang dapat menyelamatkanmu ya Abdullah?" tanya Ibrahim bin Adham.
"Ya abu Ishaq, cukuplah! Cukup! Jangan engkau teruskan lagi, mulai detik ini aku mau beristighfar dan mohon ampun kepada Allah. Aku benar-benar ingin bertaubat." ujar lelaki itu sambil menangis.
Tidak sedetikpun Allah lengah apalagi tidur, senantiasa memperhatikan setiap perilaku hamba-hambanya, sebutir atom kebaikan ditempat yang amat sangat tersembunyi pasti akan terbalas dengan berlipat-lipat, sebutir atom maksiat dan dosa yang kita lakukan di tempat yang tidak satu mata manusiapun melihat juga pasti akan terbalas sepadan dengan perbuatan itu, berbahagialah kita yang senantiasa sadar akan pengawasan Sang Maha Melihat dan Maha Meliputi segala Makhluk.
Ibrahim bin Adham memberikan nasihatnya, seraya berkata, "Jika ingin menerima lima syarat dan mampu melaksanakannya, maka tak mengapa kamu meneruskan kesukaanmu berbuat maksiat."
Mendengar perkataan Ibrahim, ahli maksiat dengan penasaran bertanya, "Ya Abu Ishaq (panggilan Ibrahim bin Adham), apa syarat-syaratnya?"
Ibrahim bin Adham berkata, "Pertama, jika ingin melakukan maksiat kepada Allah, janganlah kamu memakan rizki-Nya."
"Lalu aku harus makan dari mana? Bukankah semua yang ada di bumi ini rizki Allah?" kata sang ahli maksiat keheranan.
Ibrahim bin Adham berkata lagi, "Ya, kalau sudah menyadarinya, masih pantaskah kamu memakan rizki-Nya, sedangkan kamu melanggar perintah-perintah-Nya."
"Kemudian syarat yang kedua, kalau ingin bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah kamu tinggal di bumi-Nya. "
Ya Abu Ishaq, kalau demikian, aku akan tinggal di mana? Bukankah semua bumi dan isinya ini kepunyaan Allah?" kata lelaki itu.
"Ya Abdullah, renungkanlah olehmu, apakah masih pantas memakan rizki-Nya, sedangkan kamu masih hendak melanggar perintah-Nya?" kata Ibrahim.
"Ya benar, " kata lelaki itu tertunduk malu.
Ibrahim bin Adham kembali berkata, "Syarat ketiga, kalau ingin juga bermaksiat, mau makan rizki-Nya, mau tinggal di bumi-Nya, maka carilah suatu tempat yang tersembunyi dan tidak dapat dilihat-Nya."
"Ya Abu Ishaq, mana mungkin Allah tidak melihat kita?" ujarnya.
Sang ahli maksiat itu pun terdiam merenungkan petuah-petuah Ibrahim. Lalu ia kembali bertanya, "Ya Abu Ishaq, kini apa lagi syarat yang ke empat?"
"Kalau malaikat maut datang hendak mencabut ruhmu, katakanlah, "Undurkanlah kematianku. Aku ingin bertaubat dan melakukan amal sholeh." kata Ibrahim.
"Ya Abu Ishaq, mana mungkin malaikat maut mau mengabulkan permintaanku itu." jawab lelaki itu.
"Baiklah ya Abu Ishaq, sekarang sebutkan apa syarat yang ke lima?" tanyanya lagi.
"Kalau malaikat Zabaniyah hendak membawamu ke neraka di hari kiamat, janganlah engkau mau ikut bersamanya."
"Ya Abu Ishaq, jelas saja mereka (malaikat Zabaniyah) tidak akan mungkin membiarkan aku menolak kehendak-Nya." ujar lelaki itu.
"Kalau demikian, jalan apa lagi yang dapat menyelamatkanmu ya Abdullah?" tanya Ibrahim bin Adham.
"Ya abu Ishaq, cukuplah! Cukup! Jangan engkau teruskan lagi, mulai detik ini aku mau beristighfar dan mohon ampun kepada Allah. Aku benar-benar ingin bertaubat." ujar lelaki itu sambil menangis.
Tidak sedetikpun Allah lengah apalagi tidur, senantiasa memperhatikan setiap perilaku hamba-hambanya, sebutir atom kebaikan ditempat yang amat sangat tersembunyi pasti akan terbalas dengan berlipat-lipat, sebutir atom maksiat dan dosa yang kita lakukan di tempat yang tidak satu mata manusiapun melihat juga pasti akan terbalas sepadan dengan perbuatan itu, berbahagialah kita yang senantiasa sadar akan pengawasan Sang Maha Melihat dan Maha Meliputi segala Makhluk.
Kamis, 30 Juli 2015
Perayaan
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS Al An’aam [6]:162-163)
Sebuah peristiwa yang tiada terlewatkan oleh sebahagian besar masjid-masjid di malam pertengan sya’ban ini. Sebuah peringatan yang lebih tepat untuk dinamai Perayaan Nisfu Sya’ban. Setiap masjid memiliki agenda yang berbeda. Ada yang hanya melakukan dzikir bersama, membaca yasin, tahlil dan berdoa. Tapi tidak sedikit masjid-masjid besar yang mengharuskan jemaah nya untuk mengenakan ‘seragam’ putih-putih dan menghidangkan makanan untuk dapat dinikmati oleh siapa saja yang menghadirinya.
Ketika hamba itu sampai di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumahnya untuk menunaikan shalat isya berjamaah, lantunan ayat-ayat surah Yasin itu masih saja bergema. Jemaah yang hadir tidak seperti jemaah shalat isya biasanya. Terlihat hampir separuh masjid penuh terisi. Hamba itu masuk dengan mangambil tempat di belakang seraya mengerjakan sunnah tahyatul masjid 2 rakaat yang menjadi sebuah penghormatan bagi setiap rumah Allah yang dikunjungi.
Setelah salam selesai diucapkan dan doa usai dipanjatkan, hamba itu memandang ke arah depan masjid sembari menunggu waktu isya yang hampir menghampiri. Belum terlihat tanda-tanda adzan akan berkumandang. Sebahagian besar jemaah kini sedang khusyu’ dalam membaca tahlil dengan buku sakunya masing-masing.
Tanpa tersadar, seseorang mendekatinya dan bertanya, “Kenapa tidak mengikuti tahlilan di depan? Tanyanya dengan wajah penuh keheranan. Hamba itu tersentak dari apa yang ada dalam pikirannya tetapi berusaha untuk tersenyum. Belum terjawab pertanyaannya, ia kembali bertanya, “Apakah Bapak Wahabi atau Muhammadiyah sehingga tidak mengenal peringatan Nisfu Sya’ban?” Hamba itu kembali tersenyum. Sebuah rangkaian jawaban yang tadinya telah ada di tepi lisan untuk diucapkan kini kembali sirna dan harus dirangkai kembali.
Hamba itu menjawab, “Saya hanya tidak ingin melakukan suatu prosesi ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi…” Terdengar hardikan spontan yang mengiringi jawaban hamba itu. “Bukankah hal itu baik, Pak! Salah satu cara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Terlebih lagi malam Nisfu Sya’ban adalah malam kemuliaan yang di dalamnya banyak kebaikan yang dapat kita peroleh?”
Hamba itu tidak langsung menjawabnya. Pikirannya teringat akan hari-hari yang telah lama berlalu. Dimana ia, dengan bimbingan seorang gurunya yang teramat sabar, mengkaji fiqh ibadah dan muammalah dari beberapa kitab yang ditulis oleh imam-imam yang cukup dikenal dan disegani. Salah satunya yang sering menjadi rujukan adalah kitab Nailul Authar karya Imam Asy Syaukani.
Ada hal yang menjadi prinsip dalam mempelajari fiqh atau yang dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan ‘Ketentuan atau dasar-dasar hukum agama Islam’. Fiqh secara garis besar terbagi atas dua. Fiqh Ibadah yaitu segala hal yang menyangkut ritual-ritual yang dilakukan dalam membina hubungan kepada Allah SWT seperti sholat, puasa, zakat, haji dll. Sedangkan hal lainnya adalah Fiqh Muammalah yaitu segala kegiatan yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia dan makhluk Allah yang lain seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dalam fiqh ibadah maupun muammalah, yang selalu menjadi rujukan adalah Al Quran dan sunnah Rasulullah Saw. Tapi disamping itu terdapat sebuah ketentuan dasar yang selalu menjadi pegangan bagi siapapun yang mempelajarinya.
Dalam Fiqh Ibadah berlaku ketentuan “adanya perintah” atau “Contoh” dari Nabi sebagai ketentuan yang mutlak harus diperhatikan. Jadi jika tidak ada perintah ataupun contoh yang dapat diteladani dari Rasulullah, sesuatu ritual ibadah tidaklah baik untuk dikerjakan. Hal inilah yang dapat menjelaskan kenapa suatu ritual ibadah dapat dikatakan sebuah Bid’ah (tertolak) karena tidak ada “perintah untuk melaksanakannya” di dalam Al Quran ataupun “contoh” yang Nabi lakukan dalam bentuk sunnah yang shahih.
Sedangkan dalam Fiqh Muammalah berlaku ketentuan “adanya larangan” atau “batas” yang menjadi sebuah penghalang untuk melakukannya. Jadi selama tidak ada larangan atau batas, suatu pekerjaan yang menyangkut hubungan dengan sesama makhluk Allah dapat saja dilakukan. Contoh yang paling nyata dalam kehidupan kita sehari-hari adalah jual beli. Berjual beli hukumnya adalah halal. Tapi ketika jual beli sudah tidak murni lagi karena ada unsur penipuan, riba dan spekulasi, maka hal itu diharamkan.
Dengan perlahan hamba itu bertanya kepada sang penanya, “Bukankah sholat shubuh 4 rakaat itu baik? Dan bukankah sholat sepanjang malam itu baik? Kenapa tidak kita lakukan?” Sang penanya menjawab, “Karena Nabi tidak pernah lakukan!” Hamba itu tersenyum mendengarnya dan berkata, “Demikianlah ritual ibadah itu harus terjaga dari hal-hal yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Peringatan Nisfu Sya’ban adalah salah satu dari ritual ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi karena dalam peringatan Nisfu Sya’ban terdapat ritual ibadah seperti dzikir, tahlil dan doa.” Hamba itu melanjutkan, “Walaupun demikian, Rasulullah Saw memperbanyak puasanya dibulan sya’ban dan puasa pada 3 (tiga) hari dipertengahan bulan juga selalu Nabi lakukan. Hal itu dapat menjadi teladan bagi kita.”
Sang penanya ternyata kurang puas dengan jawaban yang hanya seputar pada masalah fiqh ibadah saja. Ia kembali bertanya kepada hamba itu, “Bukankah pada peringatan Nisfu Sya’ban juga terdapat nilai-nilai Fiqh Muammalah karena menghubungkan silaturrahim dengan banyak orang?” Belanya. Dengan memperbaiki letak duduknya, hamba itu kembali bertanya kepada sang penanya, “Bukankah kunjungan kita ke masjid ini adalah untuk sama-sama sholat berjamaah isya dengan niat untuk mencari keridhaan Allah semata dan bukan karena kita ingin menghubungkan silaturrahim? Saya pikir demikian juga dengan para jemaah yang datang untuk ikut memperingati Nisfu Sya’ban malam ini. Bisa jadi tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk menghubungkan silaturrahim tapi lebih kepada karena ingin beribadah kepada Allah.”
Dalam sebuah pertemuan dengan para sahabat-sahabatnya, Rasulullah Saw menyampaikan, “Barangsiapa melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak ada keterangan dan contohnya dari kami, maka akan tertolak.” (HR Muslim dan Ahmad).
Sumber : http://edakwahkita.blogspot.com
Sebuah peristiwa yang tiada terlewatkan oleh sebahagian besar masjid-masjid di malam pertengan sya’ban ini. Sebuah peringatan yang lebih tepat untuk dinamai Perayaan Nisfu Sya’ban. Setiap masjid memiliki agenda yang berbeda. Ada yang hanya melakukan dzikir bersama, membaca yasin, tahlil dan berdoa. Tapi tidak sedikit masjid-masjid besar yang mengharuskan jemaah nya untuk mengenakan ‘seragam’ putih-putih dan menghidangkan makanan untuk dapat dinikmati oleh siapa saja yang menghadirinya.
Ketika hamba itu sampai di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumahnya untuk menunaikan shalat isya berjamaah, lantunan ayat-ayat surah Yasin itu masih saja bergema. Jemaah yang hadir tidak seperti jemaah shalat isya biasanya. Terlihat hampir separuh masjid penuh terisi. Hamba itu masuk dengan mangambil tempat di belakang seraya mengerjakan sunnah tahyatul masjid 2 rakaat yang menjadi sebuah penghormatan bagi setiap rumah Allah yang dikunjungi.
Setelah salam selesai diucapkan dan doa usai dipanjatkan, hamba itu memandang ke arah depan masjid sembari menunggu waktu isya yang hampir menghampiri. Belum terlihat tanda-tanda adzan akan berkumandang. Sebahagian besar jemaah kini sedang khusyu’ dalam membaca tahlil dengan buku sakunya masing-masing.
Tanpa tersadar, seseorang mendekatinya dan bertanya, “Kenapa tidak mengikuti tahlilan di depan? Tanyanya dengan wajah penuh keheranan. Hamba itu tersentak dari apa yang ada dalam pikirannya tetapi berusaha untuk tersenyum. Belum terjawab pertanyaannya, ia kembali bertanya, “Apakah Bapak Wahabi atau Muhammadiyah sehingga tidak mengenal peringatan Nisfu Sya’ban?” Hamba itu kembali tersenyum. Sebuah rangkaian jawaban yang tadinya telah ada di tepi lisan untuk diucapkan kini kembali sirna dan harus dirangkai kembali.
Hamba itu menjawab, “Saya hanya tidak ingin melakukan suatu prosesi ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi…” Terdengar hardikan spontan yang mengiringi jawaban hamba itu. “Bukankah hal itu baik, Pak! Salah satu cara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Terlebih lagi malam Nisfu Sya’ban adalah malam kemuliaan yang di dalamnya banyak kebaikan yang dapat kita peroleh?”
Hamba itu tidak langsung menjawabnya. Pikirannya teringat akan hari-hari yang telah lama berlalu. Dimana ia, dengan bimbingan seorang gurunya yang teramat sabar, mengkaji fiqh ibadah dan muammalah dari beberapa kitab yang ditulis oleh imam-imam yang cukup dikenal dan disegani. Salah satunya yang sering menjadi rujukan adalah kitab Nailul Authar karya Imam Asy Syaukani.
Ada hal yang menjadi prinsip dalam mempelajari fiqh atau yang dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan ‘Ketentuan atau dasar-dasar hukum agama Islam’. Fiqh secara garis besar terbagi atas dua. Fiqh Ibadah yaitu segala hal yang menyangkut ritual-ritual yang dilakukan dalam membina hubungan kepada Allah SWT seperti sholat, puasa, zakat, haji dll. Sedangkan hal lainnya adalah Fiqh Muammalah yaitu segala kegiatan yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia dan makhluk Allah yang lain seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dalam fiqh ibadah maupun muammalah, yang selalu menjadi rujukan adalah Al Quran dan sunnah Rasulullah Saw. Tapi disamping itu terdapat sebuah ketentuan dasar yang selalu menjadi pegangan bagi siapapun yang mempelajarinya.
Dalam Fiqh Ibadah berlaku ketentuan “adanya perintah” atau “Contoh” dari Nabi sebagai ketentuan yang mutlak harus diperhatikan. Jadi jika tidak ada perintah ataupun contoh yang dapat diteladani dari Rasulullah, sesuatu ritual ibadah tidaklah baik untuk dikerjakan. Hal inilah yang dapat menjelaskan kenapa suatu ritual ibadah dapat dikatakan sebuah Bid’ah (tertolak) karena tidak ada “perintah untuk melaksanakannya” di dalam Al Quran ataupun “contoh” yang Nabi lakukan dalam bentuk sunnah yang shahih.
Sedangkan dalam Fiqh Muammalah berlaku ketentuan “adanya larangan” atau “batas” yang menjadi sebuah penghalang untuk melakukannya. Jadi selama tidak ada larangan atau batas, suatu pekerjaan yang menyangkut hubungan dengan sesama makhluk Allah dapat saja dilakukan. Contoh yang paling nyata dalam kehidupan kita sehari-hari adalah jual beli. Berjual beli hukumnya adalah halal. Tapi ketika jual beli sudah tidak murni lagi karena ada unsur penipuan, riba dan spekulasi, maka hal itu diharamkan.
Dengan perlahan hamba itu bertanya kepada sang penanya, “Bukankah sholat shubuh 4 rakaat itu baik? Dan bukankah sholat sepanjang malam itu baik? Kenapa tidak kita lakukan?” Sang penanya menjawab, “Karena Nabi tidak pernah lakukan!” Hamba itu tersenyum mendengarnya dan berkata, “Demikianlah ritual ibadah itu harus terjaga dari hal-hal yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Peringatan Nisfu Sya’ban adalah salah satu dari ritual ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi karena dalam peringatan Nisfu Sya’ban terdapat ritual ibadah seperti dzikir, tahlil dan doa.” Hamba itu melanjutkan, “Walaupun demikian, Rasulullah Saw memperbanyak puasanya dibulan sya’ban dan puasa pada 3 (tiga) hari dipertengahan bulan juga selalu Nabi lakukan. Hal itu dapat menjadi teladan bagi kita.”
Sang penanya ternyata kurang puas dengan jawaban yang hanya seputar pada masalah fiqh ibadah saja. Ia kembali bertanya kepada hamba itu, “Bukankah pada peringatan Nisfu Sya’ban juga terdapat nilai-nilai Fiqh Muammalah karena menghubungkan silaturrahim dengan banyak orang?” Belanya. Dengan memperbaiki letak duduknya, hamba itu kembali bertanya kepada sang penanya, “Bukankah kunjungan kita ke masjid ini adalah untuk sama-sama sholat berjamaah isya dengan niat untuk mencari keridhaan Allah semata dan bukan karena kita ingin menghubungkan silaturrahim? Saya pikir demikian juga dengan para jemaah yang datang untuk ikut memperingati Nisfu Sya’ban malam ini. Bisa jadi tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk menghubungkan silaturrahim tapi lebih kepada karena ingin beribadah kepada Allah.”
Dalam sebuah pertemuan dengan para sahabat-sahabatnya, Rasulullah Saw menyampaikan, “Barangsiapa melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak ada keterangan dan contohnya dari kami, maka akan tertolak.” (HR Muslim dan Ahmad).
Sumber : http://edakwahkita.blogspot.com
Selasa, 28 Juli 2015
Tahfidz Qur'an
Tahfidz Qur'an merupakan progran Yayasan Ponpes Nurul Jannah menghapal ayat Al Qur'an dan arti serta pemahamannya hanya dalam waktu dua bulan. Santri-santri yang telah memasuki tahap lanjut dapat mengikuti program ini.
Slogan untuk program ini adalah :
ISTANA : Indonesia Sejahtera Tanpa Narkoba Dengan Al Qur'an.
Untuk santri terdapat dua tingkatan untuk program ini. Yang pertama adalah program "SAHAJA" artinya Saya Hapal Juz 'Amma. Dan untuk tingkatan berikutnya adalah untuk menghapal secara keseluruhan atau 30 Juz.
Daurah Ramadhan
Selama bulan Ramadhan kemarin Yayasan Ponpes Nurul Jannah juga mengadakan program Daurah Ramadhan. Yaitu untuk menghapal Al Qur'an selama bulan Ramadhan dan diikuti oleh kurang lebih 30 santri.
Pemburu Dunia
فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ
”Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan hanya menginginkan kehidupan duniawi. Itulah batas pengetahuan mereka.” (QS An-Najm ayat 29-30)
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan dalam sebuah haditsnya bahwa dampak negatif menjadi pemburu dunia sangat jelas’
مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ
“Barangsiapa yang dunia adalah ambisinya, niscaya Allah ta’aala cerai-beraikan urusannya dan dijadikan kefakiran di hadapan kedua matanya dan Allah tidak memberinya dari harta dunia ini, kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya.” (HR Ibnu Majah 4095)
Dan sebaliknya, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan manfaat yang diperoleh orang bertaqwa yang menjadikan akhirat sebagai perhatian utamanya.
وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Dan barangsiapa yang akhirat menjadi keinginannya, niscaya Allah ta’aala kumpulkan baginya urusan(dunia)-nya dan dijadikan kekayaan di dalam hatinya dan didatangkan kepadanya dunia bagaimanapun keadaannya.” (HR Ibnu Majah 4095)
”Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan hanya menginginkan kehidupan duniawi. Itulah batas pengetahuan mereka.” (QS An-Najm ayat 29-30)
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan dalam sebuah haditsnya bahwa dampak negatif menjadi pemburu dunia sangat jelas’
مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ
“Barangsiapa yang dunia adalah ambisinya, niscaya Allah ta’aala cerai-beraikan urusannya dan dijadikan kefakiran di hadapan kedua matanya dan Allah tidak memberinya dari harta dunia ini, kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya.” (HR Ibnu Majah 4095)
Dan sebaliknya, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan manfaat yang diperoleh orang bertaqwa yang menjadikan akhirat sebagai perhatian utamanya.
وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Dan barangsiapa yang akhirat menjadi keinginannya, niscaya Allah ta’aala kumpulkan baginya urusan(dunia)-nya dan dijadikan kekayaan di dalam hatinya dan didatangkan kepadanya dunia bagaimanapun keadaannya.” (HR Ibnu Majah 4095)
Langganan:
Postingan (Atom)