Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS Al An’aam [6]:162-163)
Sebuah peristiwa yang tiada terlewatkan oleh sebahagian besar masjid-masjid di malam pertengan sya’ban ini. Sebuah peringatan yang lebih tepat untuk dinamai Perayaan Nisfu Sya’ban. Setiap masjid memiliki agenda yang berbeda. Ada yang hanya melakukan dzikir bersama, membaca yasin, tahlil dan berdoa. Tapi tidak sedikit masjid-masjid besar yang mengharuskan jemaah nya untuk mengenakan ‘seragam’ putih-putih dan menghidangkan makanan untuk dapat dinikmati oleh siapa saja yang menghadirinya.
Ketika hamba itu sampai di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumahnya untuk menunaikan shalat isya berjamaah, lantunan ayat-ayat surah Yasin itu masih saja bergema. Jemaah yang hadir tidak seperti jemaah shalat isya biasanya. Terlihat hampir separuh masjid penuh terisi. Hamba itu masuk dengan mangambil tempat di belakang seraya mengerjakan sunnah tahyatul masjid 2 rakaat yang menjadi sebuah penghormatan bagi setiap rumah Allah yang dikunjungi.
Setelah salam selesai diucapkan dan doa usai dipanjatkan, hamba itu memandang ke arah depan masjid sembari menunggu waktu isya yang hampir menghampiri. Belum terlihat tanda-tanda adzan akan berkumandang. Sebahagian besar jemaah kini sedang khusyu’ dalam membaca tahlil dengan buku sakunya masing-masing.
Tanpa tersadar, seseorang mendekatinya dan bertanya, “Kenapa tidak mengikuti tahlilan di depan? Tanyanya dengan wajah penuh keheranan. Hamba itu tersentak dari apa yang ada dalam pikirannya tetapi berusaha untuk tersenyum. Belum terjawab pertanyaannya, ia kembali bertanya, “Apakah Bapak Wahabi atau Muhammadiyah sehingga tidak mengenal peringatan Nisfu Sya’ban?” Hamba itu kembali tersenyum. Sebuah rangkaian jawaban yang tadinya telah ada di tepi lisan untuk diucapkan kini kembali sirna dan harus dirangkai kembali.
Hamba itu menjawab, “Saya hanya tidak ingin melakukan suatu prosesi ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi…” Terdengar hardikan spontan yang mengiringi jawaban hamba itu. “Bukankah hal itu baik, Pak! Salah satu cara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Terlebih lagi malam Nisfu Sya’ban adalah malam kemuliaan yang di dalamnya banyak kebaikan yang dapat kita peroleh?”
Hamba itu tidak langsung menjawabnya. Pikirannya teringat akan hari-hari yang telah lama berlalu. Dimana ia, dengan bimbingan seorang gurunya yang teramat sabar, mengkaji fiqh ibadah dan muammalah dari beberapa kitab yang ditulis oleh imam-imam yang cukup dikenal dan disegani. Salah satunya yang sering menjadi rujukan adalah kitab Nailul Authar karya Imam Asy Syaukani.
Ada hal yang menjadi prinsip dalam mempelajari fiqh atau yang dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan ‘Ketentuan atau dasar-dasar hukum agama Islam’. Fiqh secara garis besar terbagi atas dua. Fiqh Ibadah yaitu segala hal yang menyangkut ritual-ritual yang dilakukan dalam membina hubungan kepada Allah SWT seperti sholat, puasa, zakat, haji dll. Sedangkan hal lainnya adalah Fiqh Muammalah yaitu segala kegiatan yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia dan makhluk Allah yang lain seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dalam fiqh ibadah maupun muammalah, yang selalu menjadi rujukan adalah Al Quran dan sunnah Rasulullah Saw. Tapi disamping itu terdapat sebuah ketentuan dasar yang selalu menjadi pegangan bagi siapapun yang mempelajarinya.
Dalam Fiqh Ibadah berlaku ketentuan “adanya perintah” atau “Contoh” dari Nabi sebagai ketentuan yang mutlak harus diperhatikan. Jadi jika tidak ada perintah ataupun contoh yang dapat diteladani dari Rasulullah, sesuatu ritual ibadah tidaklah baik untuk dikerjakan. Hal inilah yang dapat menjelaskan kenapa suatu ritual ibadah dapat dikatakan sebuah Bid’ah (tertolak) karena tidak ada “perintah untuk melaksanakannya” di dalam Al Quran ataupun “contoh” yang Nabi lakukan dalam bentuk sunnah yang shahih.
Sedangkan dalam Fiqh Muammalah berlaku ketentuan “adanya larangan” atau “batas” yang menjadi sebuah penghalang untuk melakukannya. Jadi selama tidak ada larangan atau batas, suatu pekerjaan yang menyangkut hubungan dengan sesama makhluk Allah dapat saja dilakukan. Contoh yang paling nyata dalam kehidupan kita sehari-hari adalah jual beli. Berjual beli hukumnya adalah halal. Tapi ketika jual beli sudah tidak murni lagi karena ada unsur penipuan, riba dan spekulasi, maka hal itu diharamkan.
Dengan perlahan hamba itu bertanya kepada sang penanya, “Bukankah sholat shubuh 4 rakaat itu baik? Dan bukankah sholat sepanjang malam itu baik? Kenapa tidak kita lakukan?” Sang penanya menjawab, “Karena Nabi tidak pernah lakukan!” Hamba itu tersenyum mendengarnya dan berkata, “Demikianlah ritual ibadah itu harus terjaga dari hal-hal yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Peringatan Nisfu Sya’ban adalah salah satu dari ritual ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi karena dalam peringatan Nisfu Sya’ban terdapat ritual ibadah seperti dzikir, tahlil dan doa.” Hamba itu melanjutkan, “Walaupun demikian, Rasulullah Saw memperbanyak puasanya dibulan sya’ban dan puasa pada 3 (tiga) hari dipertengahan bulan juga selalu Nabi lakukan. Hal itu dapat menjadi teladan bagi kita.”
Sang penanya ternyata kurang puas dengan jawaban yang hanya seputar pada masalah fiqh ibadah saja. Ia kembali bertanya kepada hamba itu, “Bukankah pada peringatan Nisfu Sya’ban juga terdapat nilai-nilai Fiqh Muammalah karena menghubungkan silaturrahim dengan banyak orang?” Belanya. Dengan memperbaiki letak duduknya, hamba itu kembali bertanya kepada sang penanya, “Bukankah kunjungan kita ke masjid ini adalah untuk sama-sama sholat berjamaah isya dengan niat untuk mencari keridhaan Allah semata dan bukan karena kita ingin menghubungkan silaturrahim? Saya pikir demikian juga dengan para jemaah yang datang untuk ikut memperingati Nisfu Sya’ban malam ini. Bisa jadi tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk menghubungkan silaturrahim tapi lebih kepada karena ingin beribadah kepada Allah.”
Dalam sebuah pertemuan dengan para sahabat-sahabatnya, Rasulullah Saw menyampaikan, “Barangsiapa melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak ada keterangan dan contohnya dari kami, maka akan tertolak.” (HR Muslim dan Ahmad).
Sumber : http://edakwahkita.blogspot.com
Sebuah peristiwa yang tiada terlewatkan oleh sebahagian besar masjid-masjid di malam pertengan sya’ban ini. Sebuah peringatan yang lebih tepat untuk dinamai Perayaan Nisfu Sya’ban. Setiap masjid memiliki agenda yang berbeda. Ada yang hanya melakukan dzikir bersama, membaca yasin, tahlil dan berdoa. Tapi tidak sedikit masjid-masjid besar yang mengharuskan jemaah nya untuk mengenakan ‘seragam’ putih-putih dan menghidangkan makanan untuk dapat dinikmati oleh siapa saja yang menghadirinya.
Ketika hamba itu sampai di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumahnya untuk menunaikan shalat isya berjamaah, lantunan ayat-ayat surah Yasin itu masih saja bergema. Jemaah yang hadir tidak seperti jemaah shalat isya biasanya. Terlihat hampir separuh masjid penuh terisi. Hamba itu masuk dengan mangambil tempat di belakang seraya mengerjakan sunnah tahyatul masjid 2 rakaat yang menjadi sebuah penghormatan bagi setiap rumah Allah yang dikunjungi.
Setelah salam selesai diucapkan dan doa usai dipanjatkan, hamba itu memandang ke arah depan masjid sembari menunggu waktu isya yang hampir menghampiri. Belum terlihat tanda-tanda adzan akan berkumandang. Sebahagian besar jemaah kini sedang khusyu’ dalam membaca tahlil dengan buku sakunya masing-masing.
Tanpa tersadar, seseorang mendekatinya dan bertanya, “Kenapa tidak mengikuti tahlilan di depan? Tanyanya dengan wajah penuh keheranan. Hamba itu tersentak dari apa yang ada dalam pikirannya tetapi berusaha untuk tersenyum. Belum terjawab pertanyaannya, ia kembali bertanya, “Apakah Bapak Wahabi atau Muhammadiyah sehingga tidak mengenal peringatan Nisfu Sya’ban?” Hamba itu kembali tersenyum. Sebuah rangkaian jawaban yang tadinya telah ada di tepi lisan untuk diucapkan kini kembali sirna dan harus dirangkai kembali.
Hamba itu menjawab, “Saya hanya tidak ingin melakukan suatu prosesi ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi…” Terdengar hardikan spontan yang mengiringi jawaban hamba itu. “Bukankah hal itu baik, Pak! Salah satu cara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Terlebih lagi malam Nisfu Sya’ban adalah malam kemuliaan yang di dalamnya banyak kebaikan yang dapat kita peroleh?”
Hamba itu tidak langsung menjawabnya. Pikirannya teringat akan hari-hari yang telah lama berlalu. Dimana ia, dengan bimbingan seorang gurunya yang teramat sabar, mengkaji fiqh ibadah dan muammalah dari beberapa kitab yang ditulis oleh imam-imam yang cukup dikenal dan disegani. Salah satunya yang sering menjadi rujukan adalah kitab Nailul Authar karya Imam Asy Syaukani.
Ada hal yang menjadi prinsip dalam mempelajari fiqh atau yang dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan ‘Ketentuan atau dasar-dasar hukum agama Islam’. Fiqh secara garis besar terbagi atas dua. Fiqh Ibadah yaitu segala hal yang menyangkut ritual-ritual yang dilakukan dalam membina hubungan kepada Allah SWT seperti sholat, puasa, zakat, haji dll. Sedangkan hal lainnya adalah Fiqh Muammalah yaitu segala kegiatan yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia dan makhluk Allah yang lain seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dalam fiqh ibadah maupun muammalah, yang selalu menjadi rujukan adalah Al Quran dan sunnah Rasulullah Saw. Tapi disamping itu terdapat sebuah ketentuan dasar yang selalu menjadi pegangan bagi siapapun yang mempelajarinya.
Dalam Fiqh Ibadah berlaku ketentuan “adanya perintah” atau “Contoh” dari Nabi sebagai ketentuan yang mutlak harus diperhatikan. Jadi jika tidak ada perintah ataupun contoh yang dapat diteladani dari Rasulullah, sesuatu ritual ibadah tidaklah baik untuk dikerjakan. Hal inilah yang dapat menjelaskan kenapa suatu ritual ibadah dapat dikatakan sebuah Bid’ah (tertolak) karena tidak ada “perintah untuk melaksanakannya” di dalam Al Quran ataupun “contoh” yang Nabi lakukan dalam bentuk sunnah yang shahih.
Sedangkan dalam Fiqh Muammalah berlaku ketentuan “adanya larangan” atau “batas” yang menjadi sebuah penghalang untuk melakukannya. Jadi selama tidak ada larangan atau batas, suatu pekerjaan yang menyangkut hubungan dengan sesama makhluk Allah dapat saja dilakukan. Contoh yang paling nyata dalam kehidupan kita sehari-hari adalah jual beli. Berjual beli hukumnya adalah halal. Tapi ketika jual beli sudah tidak murni lagi karena ada unsur penipuan, riba dan spekulasi, maka hal itu diharamkan.
Dengan perlahan hamba itu bertanya kepada sang penanya, “Bukankah sholat shubuh 4 rakaat itu baik? Dan bukankah sholat sepanjang malam itu baik? Kenapa tidak kita lakukan?” Sang penanya menjawab, “Karena Nabi tidak pernah lakukan!” Hamba itu tersenyum mendengarnya dan berkata, “Demikianlah ritual ibadah itu harus terjaga dari hal-hal yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Peringatan Nisfu Sya’ban adalah salah satu dari ritual ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi karena dalam peringatan Nisfu Sya’ban terdapat ritual ibadah seperti dzikir, tahlil dan doa.” Hamba itu melanjutkan, “Walaupun demikian, Rasulullah Saw memperbanyak puasanya dibulan sya’ban dan puasa pada 3 (tiga) hari dipertengahan bulan juga selalu Nabi lakukan. Hal itu dapat menjadi teladan bagi kita.”
Sang penanya ternyata kurang puas dengan jawaban yang hanya seputar pada masalah fiqh ibadah saja. Ia kembali bertanya kepada hamba itu, “Bukankah pada peringatan Nisfu Sya’ban juga terdapat nilai-nilai Fiqh Muammalah karena menghubungkan silaturrahim dengan banyak orang?” Belanya. Dengan memperbaiki letak duduknya, hamba itu kembali bertanya kepada sang penanya, “Bukankah kunjungan kita ke masjid ini adalah untuk sama-sama sholat berjamaah isya dengan niat untuk mencari keridhaan Allah semata dan bukan karena kita ingin menghubungkan silaturrahim? Saya pikir demikian juga dengan para jemaah yang datang untuk ikut memperingati Nisfu Sya’ban malam ini. Bisa jadi tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk menghubungkan silaturrahim tapi lebih kepada karena ingin beribadah kepada Allah.”
Dalam sebuah pertemuan dengan para sahabat-sahabatnya, Rasulullah Saw menyampaikan, “Barangsiapa melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak ada keterangan dan contohnya dari kami, maka akan tertolak.” (HR Muslim dan Ahmad).
Sumber : http://edakwahkita.blogspot.com