Kamis, 30 Juli 2015

Perayaan

Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)” (QS Al An’aam [6]:162-163)

Sebuah peristiwa yang tiada terlewatkan oleh sebahagian besar masjid-masjid di malam pertengan sya’ban ini. Sebuah peringatan yang lebih tepat untuk dinamai Perayaan Nisfu Sya’ban. Setiap masjid memiliki agenda yang berbeda. Ada yang hanya melakukan dzikir bersama, membaca yasin, tahlil dan berdoa. Tapi tidak sedikit masjid-masjid besar yang mengharuskan jemaah nya untuk mengenakan ‘seragam’ putih-putih dan menghidangkan makanan untuk dapat dinikmati oleh siapa saja yang menghadirinya.

Ketika hamba itu sampai di sebuah masjid yang tidak jauh dari rumahnya untuk menunaikan shalat isya berjamaah, lantunan ayat-ayat surah Yasin itu masih saja bergema. Jemaah yang hadir tidak seperti jemaah shalat isya biasanya. Terlihat hampir separuh masjid penuh terisi. Hamba itu masuk dengan mangambil tempat di belakang seraya mengerjakan sunnah tahyatul masjid 2 rakaat yang menjadi sebuah penghormatan bagi setiap rumah Allah yang dikunjungi.

Setelah salam selesai diucapkan dan doa usai dipanjatkan, hamba itu memandang ke arah depan masjid sembari menunggu waktu isya yang hampir menghampiri. Belum terlihat tanda-tanda adzan akan berkumandang. Sebahagian besar jemaah kini sedang khusyu’ dalam membaca tahlil dengan buku sakunya masing-masing.

Tanpa tersadar, seseorang mendekatinya dan bertanya, “Kenapa tidak mengikuti tahlilan di depan? Tanyanya dengan wajah penuh keheranan. Hamba itu tersentak dari apa yang ada dalam pikirannya tetapi berusaha untuk tersenyum. Belum terjawab pertanyaannya, ia kembali bertanya, “Apakah Bapak Wahabi atau Muhammadiyah sehingga tidak mengenal peringatan Nisfu Sya’ban?” Hamba itu kembali tersenyum. Sebuah rangkaian jawaban yang tadinya telah ada di tepi lisan untuk diucapkan kini kembali sirna dan harus dirangkai kembali.

Hamba itu menjawab, “Saya hanya tidak ingin melakukan suatu prosesi ibadah yang tidak ada contohnya dari Nabi…” Terdengar hardikan spontan yang mengiringi jawaban hamba itu. “Bukankah hal itu baik, Pak! Salah satu cara kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Terlebih lagi malam Nisfu Sya’ban adalah malam kemuliaan yang di dalamnya banyak kebaikan yang dapat kita peroleh?”

Hamba itu tidak langsung menjawabnya. Pikirannya teringat akan hari-hari yang telah lama berlalu. Dimana ia, dengan bimbingan seorang gurunya yang teramat sabar, mengkaji fiqh ibadah dan muammalah dari beberapa kitab yang ditulis oleh imam-imam yang cukup dikenal dan disegani. Salah satunya yang sering menjadi rujukan adalah kitab Nailul Authar karya Imam Asy Syaukani.

Ada hal yang menjadi prinsip dalam mempelajari fiqh atau yang dalam bahasa Indonesia kita kenal dengan ‘Ketentuan atau dasar-dasar hukum agama Islam’. Fiqh secara garis besar terbagi atas dua. Fiqh Ibadah yaitu segala hal yang menyangkut ritual-ritual yang dilakukan dalam membina hubungan kepada Allah SWT seperti sholat, puasa, zakat, haji dll. Sedangkan hal lainnya adalah Fiqh Muammalah yaitu segala kegiatan yang menyangkut hubungan dengan sesama manusia dan makhluk Allah yang lain seperti tumbuh-tumbuhan dan hewan. Dalam fiqh ibadah maupun muammalah, yang selalu menjadi rujukan adalah Al Quran dan sunnah Rasulullah Saw. Tapi disamping itu terdapat sebuah ketentuan dasar yang selalu menjadi pegangan bagi siapapun yang mempelajarinya.

Dalam Fiqh Ibadah berlaku ketentuan “adanya perintah” atau “Contoh” dari Nabi sebagai ketentuan yang mutlak harus diperhatikan. Jadi jika tidak ada perintah ataupun contoh yang dapat diteladani dari Rasulullah, sesuatu ritual ibadah tidaklah baik untuk dikerjakan. Hal inilah yang dapat menjelaskan kenapa suatu ritual ibadah dapat dikatakan sebuah Bid’ah (tertolak) karena tidak ada “perintah untuk melaksanakannya” di dalam Al Quran ataupun “contoh” yang Nabi lakukan dalam bentuk sunnah yang shahih.

Sedangkan dalam Fiqh Muammalah berlaku ketentuan “adanya larangan” atau “batas” yang menjadi sebuah penghalang untuk melakukannya. Jadi selama tidak ada larangan atau batas, suatu pekerjaan yang menyangkut hubungan dengan sesama makhluk Allah dapat saja dilakukan. Contoh yang paling nyata dalam kehidupan kita sehari-hari adalah jual beli. Berjual beli hukumnya adalah halal. Tapi ketika jual beli sudah tidak murni lagi karena ada unsur penipuan, riba dan spekulasi, maka hal itu diharamkan.

Dengan perlahan hamba itu bertanya kepada sang penanya, “Bukankah sholat shubuh 4 rakaat itu baik? Dan bukankah sholat sepanjang malam itu baik? Kenapa tidak kita lakukan?” Sang penanya menjawab, “Karena Nabi tidak pernah lakukan!” Hamba itu tersenyum mendengarnya dan berkata, “Demikianlah ritual ibadah itu harus terjaga dari hal-hal yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Peringatan Nisfu Sya’ban adalah salah satu dari ritual ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi karena dalam peringatan Nisfu Sya’ban terdapat ritual ibadah seperti dzikir, tahlil dan doa.” Hamba itu melanjutkan, “Walaupun demikian, Rasulullah Saw memperbanyak puasanya dibulan sya’ban dan puasa pada 3 (tiga) hari dipertengahan bulan juga selalu Nabi lakukan. Hal itu dapat menjadi teladan bagi kita.”

Sang penanya ternyata kurang puas dengan jawaban yang hanya seputar pada masalah fiqh ibadah saja. Ia kembali bertanya kepada hamba itu, “Bukankah pada peringatan Nisfu Sya’ban juga terdapat nilai-nilai Fiqh Muammalah karena menghubungkan silaturrahim dengan banyak orang?” Belanya. Dengan memperbaiki letak duduknya, hamba itu kembali bertanya kepada sang penanya, “Bukankah kunjungan kita ke masjid ini adalah untuk sama-sama sholat berjamaah isya dengan niat untuk mencari keridhaan Allah semata dan bukan karena kita ingin menghubungkan silaturrahim? Saya pikir demikian juga dengan para jemaah yang datang untuk ikut memperingati Nisfu Sya’ban malam ini. Bisa jadi tidak ada satupun dari mereka yang berniat untuk menghubungkan silaturrahim tapi lebih kepada karena ingin beribadah kepada Allah.”

Dalam sebuah pertemuan dengan para sahabat-sahabatnya, Rasulullah Saw menyampaikan, “Barangsiapa melakukan suatu amal (ibadah) yang tidak ada keterangan dan contohnya dari kami, maka akan tertolak.” (HR Muslim dan Ahmad).

Sumber : http://edakwahkita.blogspot.com

Selasa, 28 Juli 2015

Tahfidz Qur'an




Tahfidz Qur'an merupakan progran Yayasan Ponpes Nurul Jannah menghapal ayat Al Qur'an dan arti serta pemahamannya hanya dalam waktu dua bulan. Santri-santri yang telah memasuki tahap lanjut dapat mengikuti  program ini.

Slogan untuk program ini adalah :

ISTANA  :  Indonesia Sejahtera Tanpa Narkoba Dengan Al Qur'an.

Untuk santri terdapat dua tingkatan untuk program ini. Yang pertama adalah program "SAHAJA" artinya Saya Hapal Juz 'Amma. Dan untuk tingkatan berikutnya adalah untuk menghapal secara keseluruhan atau 30 Juz.

Daurah Ramadhan



Selama bulan Ramadhan kemarin Yayasan Ponpes Nurul Jannah juga mengadakan program Daurah Ramadhan. Yaitu untuk menghapal Al Qur'an selama bulan Ramadhan dan diikuti oleh kurang lebih 30 santri.







Pemburu Dunia

 فَأَعْرِضْ عَنْ مَنْ تَوَلَّى عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ إِلَّا الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ذَلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِنَ الْعِلْمِ

”Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan hanya menginginkan kehidupan duniawi. Itulah batas pengetahuan mereka.” (QS An-Najm ayat 29-30)

Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memperingatkan dalam sebuah haditsnya bahwa dampak negatif menjadi pemburu dunia sangat jelas’

مَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ فَرَّقَ اللَّهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ

“Barangsiapa yang dunia adalah ambisinya, niscaya Allah ta’aala cerai-beraikan urusannya dan dijadikan kefakiran di hadapan kedua matanya dan Allah tidak memberinya dari harta dunia ini, kecuali apa yang telah ditetapkan untuknya.” (HR Ibnu Majah 4095)

Dan sebaliknya, Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan manfaat yang diperoleh orang bertaqwa yang menjadikan akhirat sebagai perhatian utamanya.

وَمَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ نِيَّتَهُ جَمَعَ اللَّهُ لَهُ أَمْرَهُ وَجَعَلَ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

“Dan barangsiapa yang akhirat menjadi keinginannya, niscaya Allah ta’aala kumpulkan baginya urusan(dunia)-nya dan dijadikan kekayaan di dalam hatinya dan didatangkan kepadanya dunia bagaimanapun keadaannya.” (HR Ibnu Majah 4095)

Fadhilah Sholat Dhuha

Didalam Surah Adh-Dhuha Allah swt bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam: “Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi.” (QS. 93:1-2). Pernahkah terlintas dalam benak kita mengapa Allah swt sampai bersumpah pada kedua waktu itu? Beberapa ahli tafsir berpendapat bahwa kedua waktu itu adalah waktu yang utama paling dalam setiap harinya.

Pada waktu itulah Allah swt sangat memperhatikan hambaNya yang paling getol mendekatkan diri kepadaNya. Ditengah malam yang sunyi, dimana orang-orang sedang tidur nyenyak tetapi hamba Allah yang pintar mengambil kesempatan disa’at itu dengan bermujahadah melawan kantuk dan dinginnya malam dan air wudhu’, bangun untuk menghadap Khaliqnya, tidak lain hanya untuk mendekatkan diri kepadanya.
Demikian juga dengan waktu dhuha, dimana orang-orang sibuk dengan kehidupan duniawinya dan mereka yang tahu pasti akan meninggalkannya sebentar untuk kembali mengingat Allah swt, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Zaid bin Arqam ra ketika beliau melihat orang-orang yang sedang melaksanakan shalat dhuha: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat itu dilain sa’at ini lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Shalat dhuha itu (shalatul awwabin) shalat orang yang kembali kepada Allah, setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak unta bangun karena mulai panas tempat terbaringnya.” (HR Muslim).

Lantas bagaimana tidak senang Allah dengan seorang hamba yang seperti ini, sebagaimana janjiNya: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. 5:35). Diakhir ayat ini terlihat Allah menyatakan kata “beruntung” bagi hambanya yang suka mendekatkan diri kepadanya. Nach.. kalau bicara tentang beruntung tentu ini adalah rejeki bagi kita. Dan satu hal yang perlu kita ingat bahwa rejeki itu bukan hanya bentuknya materi atau uang belaka. Tetapi lebih dalam dari itu, segala sesuatu yang diberikan kepada kita yang berdampak kebaikan kepada kehidupan kita didunia dan diakhirat adalah rejeki. Dan puncak dari segala rejeki itu adalah kedekatan kepada Allah swt dan tentu kalau berbicara ganjaran yaitu kenikmatan puncak yang paling akhir adalah syurga. Oleh karena itu para ulama mengajarkan kita untuk berdo’a tentang rejeki ketika selesai shalat dhuha. Jadi salah satu fadilah (keutamaan) dari shalat dhuha itu adalah sarana jalan untuk memohon limpahan rejeki dari Allah swt.

Disamping itu shalat dhuha ini juga dapat mengantikan ketergadaian setiap anggota tubuh kita pada Allah, dimana kita wajib membayarnya sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Setiap pagi setiap persendian salah seorang diantara kalian harus (membayar) sadhaqah; maka setiap tasbih adalah sadhaqah, setiap tahmid adalah sadhaqah, setiap tahlil adalah sadhaqah, setiap takbir adalah sadhaqah, amar ma’ruf adalah sadhaqah, mencegah kemungkaran adalah sadhaqah, tetapi dua raka’at dhuha sudah mencukupi semua hal tersebut” (HR Muslim).

Tetapi yang lebih dalam dari itu lagi adalah shalat dhuha ini adalah salah amalan yang disukai Rasulullah saw beserta para sahabatnya (sunnah), sebagaimana anjuran beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra:
“Kekasihku Rasulullah saw telah berwasiat kepadaku dengan puasa tiga hari setiap bulan, dua raka’at dhuha dan witir sebelum tidur” (Bukhari, Muslim, Abu Dawud).
Kalaulah tidak khawatir jika ummatnya menganggap shalat dhuha ini wajib hukumnya maka Rasulullah saw akan tidak akan pernah meninggalkannya. Para orang alim, awliya dan ulama sangatlah menjaga shalat dhuhanya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafei’: Tidak ada alasan bagi seorang mukmin untuk
tidak melakukan shalat dhuha”. Hal ini sudah jelas dikarenakan oleh seorang mukmin sangat apik dan getol untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya”.

Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita sebagai seorang muslim yang mempunyai tujuan hidup untuk mendapatkan ridhoNya meninggalkan shalat dhuha karena kesibukan duniawi kita kecuali karena kelalaian dan kebodohan kita sendiri.


Sumber : http://shevade.wordpress.com/2009/11/03/fadhilah-sholat-dhuha/

Shalat Berjamaah

Pernahkah disadari bahwa sebenarnya saat ini anda dalam keadaan PALING BAHAYA karena “MISKIN” ? Benar! Karena jika anda tidak shalat berjamaah di masjid, “Gaji” anda sangat kecil, hanya 1/27 atau 3,7% ...

Semoga kita tidak meninggal dalam "Kemiskinan" itu..., naudzubillah. Inilah KEMISKINAN SEJATI, yang melanda mayoritas penduduk negeri ini... yang juga tengah melanda diri anda, bukan? Kemiskinan sejati, penyebab SESAL & GENTAR di yaumul hisab. Kemiskinan sejati, menyeret menuju puncak kesengsaraan di HAWIYAH !

“Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (yaitu) api yang sangat panas” (QS Al Qariah : 8-11)

Renungkan: Rumah megah, mobil mewah, harta berlimpah tapi tidak shalat berjamaah?! Andalah orang miskin sejati itu...

SHALAT BERJAMAAH PAHALANYA LEBIH TINGGI 27 DERAJAT DIBANDING SHALAT SENDIRI (HR BUKHARI -MUSLIM). Raih segera "Kenaikan Gaji" 27x lipat dengan shalat berjamaah di masjid! Shalat berjamaah adalah KEKAYAAN SEJATI, kekayaan yang dibawa mati untuk kebahagiaan abadi. JADILAH ORANG KAYA SEJATI !